Jumat, 09 Januari 2009

Penelitian Sanad dan Matan

Oleh: M. Amsar Roedi
I. Pendahuluan
Hadits Nabi adalah sumber ajaran Islam kedua. Dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur'an, semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada mardud dan dhoif dan lainya. Namun, dalam al-Qur'an tidak mengenal hal semacam itu karena periwayatan al-Qur'an adalah mutawatir yang tidak mungkin diragukan isinya. Tetapi dalam hadits kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya, karena kualitas hadits akan berpengaruh pada hukum Islam.
Penelitian ini bukan bermaksud untuk meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian (al-ihtiyath) dalam pengambilan dasar hukum. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya.
Hal semacam itulah yang menyebabkan pengkajian hadits tidak hanya menyangkut kandungan dan aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan dan periwayatannya. Di sinilah Ulama’ hadits sangat berhati-hati dalam melakukan periwayatan. Sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits menjadi sangat besar manfaatnya bagi penelitian kualitas hadits.
II. Pembahasan
1. Pengertian Sanad dan Matan
Kata sanad menurut bahasa berarti sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercayai; kaki bukit atau kaki gunung. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
“Sanad adalah jalan yang menyampaikan pada Matan, yaitu rangkaian para periwayat yang mengutip ma tan dari sumber pertamanya.”
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Matan adalah ungkapan-ungkapan hadits yang menunjukkan maksud hadits tersebut”
Selain istilah sanad dan matan seperti yang telah diuraikan di atas, perlu pula diketahui istilah Rawi. Yang dimaksud Rawi adalah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterima dari seseorang (gurunya). Perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi (riwayat) kan hadits.
Sebagai contoh dari sanad, matan dan rawi bisa dilihat pada contoh hadits berikut:
روى الامام البخارى قال: حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا ايوب, عن أبى قلابة, عن أنس عن النبى ص.م. قال: ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما, وان يحب المرء لايحبه الا الله, وان يكون ان يعود فى الكفر كما يكره ان يقذف فى النار
Dari hadits di atas, kita temukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi, yakni:
1. Anas sebagai rawi pertama
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)

Adapun deretan kata-kata mulai dari :حدثنا محمد بن المثنى sampai dengan kalimat عن النبى ص.م. قال itulah yang dinamakan sanad.
Untuk contoh hadits di atas, matan haditsnya adalah rangkaian kalimat mulai dari ثلاث من كن فيه sampai ان يقذف فى النار. Dalam penulisan ilmiah, seyogyanya, selain ditulis matan hadits dimaksud, juga ditulis nama rawi terakhir (pentakhrij) dan rawi pertamanya (sanad terakhir). Umpamanya untuk penulisan hadits di atas, setelah menulis matannya, kemudian ditulis kalimat: رواه البخارى عن أنس.
2. Pengertian Penelitian Sanad dan Matan
Penelitian sanad dan matan lebih dikenal dengan istilah kritik sanad dan matan. Penelitian ini bukan berarti tidak mempercayai semua hadits Nabi, akan tetapi hal seperti ini hanya tertuju pada hadits ahad bukan hadits mutawatir. Selain itu juga merupakan kehati-hatian kaum muslimin dalam menjaga hadits Nabi di samping berkeinginan untuk mengikuti sunnah Nabi dengan sebenar-benarnya.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadits Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagian kaum muslimin yang bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadits, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah nama perawi dan lambang-lambang periwayatan hadits, misalnya; sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă. Menambahkan hal itu, menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu perawi harus berkualitas siqah (‘adil dan dhabit); dan masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbarani, qala lana, dhakarani.
Untuk meneliti sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pelbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Matan hadits yang sudah shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit).
3. Latar belakang penelitian Sanad dan Matan
Sebenarnya metode yang mirip dengan sanad sudah tampak sebelum Islam lahir, akan tetapi metode tersebut masih tampak samar-samar. Sebagaimana dalam penukilan syair-syair jahiliyah, metode sanad sudah digunakan. Namun formulasi metode sanad ini baru tampak jelas dalam sistem periwayatan hadits saja. Pemakaian sanad dalam literatur hadits telah digunakan oleh sahabat sejak Nabi masih hidup. Mereka yang hadir dalam majelis pengajian Nabi memberitahukan sahabat lain yang tidak hadir tentang hal yang mereka dengar.
Ulama’ sangat besar perhatiannya terhadap sanad dan matan hadits. Hal ini terbukti dengan adanya tiga alasan. Pertama, pernyataan-pernyataan ulama’ yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits. Kedua, banyaknya karya tulis ulama’ yang berkenaan dengan sanad hadits. Ketiga, dalam praktek, apabila mereka menghadapi suatu hadits, maka sanad hadits merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus.
Pada dasarnya ada empat faktor yang mendorong ulama’ hadits mengadakan penelitian hadits yaitu dari segi sanad dan matan. Yaitu:
a) Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
Dalam sejarah, hampir seluruh ulama dan umat Islam menyepakati hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hanya ada sekelompok kecil pada masa klasik yang menolaknya, inilah yang disebut Inkar al-sunnah. Hal itu dikarenakan mereka kurang paham tentang pelbagai hal mengenai ilmu hadits. Namun, pada masanya juga Imam Syafi’i memberikan bantahan lewat argumen-argumennya dalam kitab al-Umm. Karenanya, Imam Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir al-Sunnah (pembela Sunnah).
Semenjak abad ketiga, yaitu setelah Imam Syafi’i memberikan argumen-argumennya, sampai abad keempat belas hijriyah, tidak ada cacatan sejarah yang menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran penolakan Sunnah. Namun, baru pada abad keempat belas Hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali, dan kali ini dengan bentuk yang berbeda dari Inkar al-Sunnah klasik dan lebih berbahaya. Inkar al-Sunnah Modern yang muncul di Cairo, Mesir itu disebabkan adanya pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam, tokoh-tokohnya mengaku sebagai mujtahid dan pembaharu, dan meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi Sunnah dalam Islam, mereka tetap bertahan pada pendiriannya.
Namun, kiranya Allah berkehendak lain. Apabila Imam Syafi’i berhasil melumpuhkan Inkar al-Sunnah klasik, maka munculnya para pakar Hadits kontemporer seperti Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, Prof. Dr. M.M. A’zami dan lain-lain telah membikin argumentasi Inkar al-Sunnah modern hancur berkeping-keping. Sehingga hadits dapat dilestarikan sampai sekarang.
b) Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
Tidak ada perselisihan bahwa Al-Qur’an telah mendapat perhatian khusus dari Rasul sehingga membuatnya terpelihara dalam dada, tertera di lembaran-lembaran, pelepah korma, dll. Tetapi Sunnah tidaklah demikian, meskipun merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Sunnah tidak mendapat perhatian khusus dalam masalah kodifikasi. Mungkin penyebabnya adalah bahwa Rasul hidup bersama sahabat selama dua puluh tiga tahun, sehingga penulisan hadits adalah sulit dilakukan dari segi masalah lokasi. Selain itu juga dikhawatirkan silapnya sebagian sabda Nabi yang singkat dan padat dengan Al-Qur’an karena alpa dan tanpa sengaja. Dengan begitu, kita mengetahui rahasia dilarangnya menulis Sunnah yang terdapat dalam hadits Muslim “Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur’an, maka barang siapa menulis sesuatu hendaklah ia menghapusnya.”
Meski begitu, sudah dipastikan bahwa sebagian sahabat memiliki lembaran-lembaran tertulis yang di dalamnya mencatat sebagian apa yang mereka dengar dari Nabi, meski hanya dikenal dengan istilah shahifah dan nuskhah. Namun, ada sementara sahabat yang sudah memberikan nama tertentu bagi karyanya, seperti Abdullah Amr ibn al-Ash (7 SH-65 H). Beliau memberikan nama al-Shadiqah.
Para Ulama’ berselisih pendapat bagaimana menggabungkan hadits nabi yang melarang penulisan hadits, sedangkan menurut sejarah tidak sedikit sahabat yang menulis dan menyimpannya. Ada yang berpendapat bahwa larangan itu terhapus (mansukh). Ada pula yang berpendapat bahwa larangan menulis hanya untuk mereka yang tidak aman dari membuat kesalahan dan mencampuradukkan antara sunnah dan al-Qur’an. Sedangkan Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, seorang tokoh hadits yang energik dari Damaskus, Syiria, berpendapat bahwa larangan yang dimaksud adalah penulisan secara resmi sebagaimana dicatatnya al-Qur’an. Sedangkan izin penulisan adalah kelonggaran mencatat sunnah dalam keadaan dan keperluan khusus, atau kelonggaran bagi sahabat yang menulis untuk dirinya sendiri.
c) Munculnya pemalsuan Hadits
Pada zaman Nabi, belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan hadits. Menurut bukti yang ada, pemalsuan hadits mulai ada pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, walau begitu tidak menutup kemungkinan pemalsuan hadits sudah berlangsung pada masa sebelumnya.
Berdasarkan sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja tetapi juga oleh orang-orang non-Islam. Orang-orang non-Islam membuat hadits palsu karena ingin menghancurkan Islam dari dalam. Sementara orang-orang Islam tertentu membuat hadits palsu karena didorong beberapa tujuan. Seperti Kaum Syiah yang membuat hadits palsu tentang kemuliaan sahabat Ali. Kaum pendukung Muawiyah pun tidak mau kalah, mereka membuat hadits palsu untuk memuliakan pemimpinnya.
Dalam hal ini harus dinyatakan bahwa apapun latar belakang dan tujuan pemalsuan hadits, hal seperti itu tetaplah perbuatan tercela dan menyesatkan. Bahkan Nabi sendiri mengancam neraka bagi pemalsu sabda atas nama Nabi.
d) Proses penghimpunan hadits.
Pada zaman sahabat Nabi dan Tabi’in, khususnya sebelum Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan untuk menghimpun hadits, kegiatan penulisan hadits telah dilakukan banyak orang. Akan tetapi hanya untuk kepentingan sendiri karena masih berlangsung perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadits.
Keinginan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (memerintah 99-101H) untuk menghimpun tersebut diwujudkan dalam bentuk surat perintah yang dikirim ke seluruh pejabat dan Ulama’ di pelbagai daerah pada Akhir tahun 100 H. sayang sekali sebelum selesai penghimpunan, Khalifah telah meninggal dunia. Meski demikian, kegiatan tersebut masih berjalan terus.
Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah, telah muncul pelbagai kitab himpunan hadits yang tidak hanya memuat matan saja tetapi juga sanad. Ada yang berkualitas shahih dan juga ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama’ berikutnya kemudian menyusun kitab hadits yang khusus menghimpun hadits-hadits shahih.
Masih banyak kitab hadits yang disusun oleh ulama’ pada abad ke III H. tidak sedikit juga ulama’ sesudah abad III H yang menyusun hadits yang kebanyakan berupa ringkasan. Dengan demikian puncak penghimpunan hadits terjadi pada abad III H. Setelah itu, penghimpunan hadits hanya untuk melengkapi, menggabungkan dan sebagainya.
4. Tujuan Penelitian Hadits
Tujuan pokok penelitian hadits baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pernyataan ulama’ tentang tidak perlunya penelitian lebih lanjut pada hadits mutawatir tidaklah berarti bahwa terhadap mutawatir tidak dilakukan penelitian. Penelitian hadits mutawatir tetap saja dilakukan, hanya saja tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan, melainkan untuk mengetahui apakah benar hadits tersebut berstatus mutawatir.
Penelitian ulang terhadap hadits yang telah pernah dinilai oleh Ulama’ tetap memiliki manfaat mengingat ulama’ dahulu pun manusia yang kadang salah dan benar. Penelitian merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian dahulu, juga untuk menghindar dari penggunaan dalil hadits yang tidak memenuhi syarat dari segi kehujjahan.
5. Kaidah-kaidah penelitian Hadits
Dalam kegiatan penelitian hadits ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti hadits, yaitu sebagai berikut:
a) Takhrijul Hadits
Langkah awal yang dilakukan para ahli Hadits dalam kegiatan penelitian hadits adalah Takhrijul hadits. Banyak sekali istilah yang dipakai ulama’ hadits tentang pengertian Takhrijul hadits. Namun, pengertian yang dimaksud dalam kegiatan penelitian hadits lebih lanjut ialah “penelusuran atau penelitian hadits pada pelbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad yang bersangkutan”.
Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul hadits terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Hal inilah yang menjadikannya sangat penting bagi seorang peneliti hadits. Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan Takhrijul hadits. Yaitu:
- Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits, sehingga mudah diketahui status dan kualitasnya.
- Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits, sehingga dapat ditentukan sanad yang berkualitas dlaif dan yang berkualitas shahih.
- Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Syahid dan Mutabi’ pada sanad hadits, Syahid adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Sedangkan Mutabi’ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi.
Dalam buku Cara Praktis Mencari Hadits dikemukakan bahwa metode takhrijul hadits ada dua macam, yaitu:
 Metode Takhrijul Hadits bil Lafz
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui lafadz. Kitab kamus yang agak lengkap untuk kepentingan ini adalah adalah kitab susunan Dr.A.J. Wensinck dkk. Yang diterjemahkan ke bahasa arab dengan judul المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوي
 Metode Takhrijul Hadits bil maudlu’
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui topik masalah. Kitab kamus untuk kepentingan ini adalah مفتاح كنوز السنة yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck dkk.
b) Penelitian Sanad Hadits
Setelah melakukan takhrijul hadits, maka seluruh sanad hadits dicatat dan dihimpun untuk dilakukan penelitian dengan urutan sebagai berikut:
1. Al-i’tibar
Al-I’tibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian dari sanad hadits di maksud. Tujuan diadakannya Al-I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya periwayatan yang berstatus mutabi’ (periwayatan yang berstatus pendukung yang bukan sahabat Nabi), dan syahid (periwayatan yang berstatus sebagai dan untuk Nabi).
Untuk mempermudah proses al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema seluruh sanad hadits yang diteliti. Garis-garis sanad harus jelas, seperti halnya nama periwayat agar tidak mengalami kesulitan dalam penelitian. Sebagai contoh hadits yang berbunyi من رأى منكم منكرا. Berikut ini dikemukakan riwayat hadits tersebut yang mukharrijnya Muslim:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة, حدثنا وكيع عن سفيان.ح. و حدثنا محمد المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة, كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب وهذا حديث أبى بكر. قال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام اليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ما هنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله ص.م. يقول: من رأى منكم منكرا فليغير بيده فان لم يستطع فبلسانه, فان لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف الايمان. (أخرجه مسلم)
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan.
Dalam mengemukakan riwayat, Imam Muslim menyandarkan riwayatnya kepada dua periwayat, yakni Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin al-Mutsanna. Keduanya beliau sandari sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad terakhir adalah Abu Said al-Khudri.
Huruf ح yang terletak antara nama Sufyan dan kata wa haddasana adalah singkatan dari kata at-tahwil min isnad ila isnad, artinya: perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain. Dengan demikian sanad Muslim dalam riwayat hadits di atas ada dua macam.
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
Dalam meneliti pribadi periwayat, Ulama’ hadits sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti untuk dapat diketahui riwayat hadits bisa dijadikan hujjah atau tidak. Yaitu keadilan dan kedhabitannya. Jika kedua sifat itu telah dimiliki maka periwayat dinyatakan bersifat Siqah.
a. adil (kualitas pribadi periwayat)
Dalam memberikan pengertian istilah adil, ulama’ berbeda pendapat. Dari perbedaan itu dapat dihimpun empat butir kriteria untuk seorang yang adil. Yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukallaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; (4) memelihara muru’ah.
Pada kriteria melaksanakan ketentuan agama, Allah memerintahkan dalam Surat al-Hujurat: 6 agar berita yang berasal dari orang fasiq diteliti kebenarannya. Maka berita dari orang yang fasiq yang berkenaan dengan sumber ajaran Islam, dalam hal ini hadits Nabi, harus ditolak. Karena orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama tidak merasa berat membuat berita bohong.
Pada kriteria keempat, Ibnu Qudamah mengartikan muru’ah dengan rasa malu yang merupakan salah satu tata nilai yang berlaku di masyarakat, berarti orang yang mengabaikan muru’ah akan mengakibatkan dia tidak dihargai oleh masyarakat. Sehingga cenderung melakukan perbuatan kompensasi untuk mencari perhatian masyarakat salah satunya adalah menyampaikan berita bohong.
b. dhabith (kapasitas intelektual)
Penerimaan hadits pada masa Nabi ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang yang menyampaikan hadits harus hafal terlebih dahulu dan mampu menyampaikannya kepada orang lain di samping harus memahami isi hadits tersebut. Dengan demikian, kapasitas intelektual seorang periwayat sangat ditekankan dalam periwayatan hadits.
Dalam metode periwayatan, ada beragam cara yang dipakai, diantaranya:
a. سمعت d. أخبرنا
b. حدثنا e. قال لنا
c. حدثنى f. ذكرنا
Bobot kualitas kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama’. Menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H), kata yang tertinggi adalah سمعت kemudian حدثنا dan حدثنى . Alasannya kata سمعت menunjukkan kepastian periwayat mendengar langsung hadits. Sedangkan حدثنا dan حدثنى masih bersifat umum; ada kemungkinan periwayat tidak mendengar langsung.
Adapun kata حدثنى lebih tinggi daripada kata حدثنا dan أخبرنا. Karena حدثنى mengandung unsur kesengajaan guru menyampaikan hadits kepada penerima riwayat. Sedang dua kata lainnya tidak demikian.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
1. meneliti syudzudz
Menurut Imam Syafi’i, suatu sanad sangat memungkinkan mengandung syudzudz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadits yang memiliki satu sanad saja, tidak dikenal adanya syudzudz. Salah satu langkahnya adalah membandingkan (Muqaranah) semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.
2. meneliti illah
Illah yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits ialah illah yang yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadits yang bersangkutan tampak sanadnya berkualitas shahih. Cara menelitinya antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang semakna.
Al-Khatib al-Baghdadiy memberikan langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah: (1) seluruh sanad yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memang memiliki mutabi’ataupun syahid; (2) seluruh periwayat dalam pelbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang berlaku. Sesudah itu, kemudian sanad dibandingkan dengan sanad lain. Maka akan ditemukan, apakah sanad hadits tersebut mengandung illah ataukah tidak.
3. Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Isi dari hadits harus berisi natijah (konklusi), kemudian dalam natijah harus disertai argumen yang jelas. Semua argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
c) Penelitian Matan Hadits
Kemudian untuk meneliti matan hadits juga harus melalui beberapa kegiatan diantaranya:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Sebelum meneliti matan terlebih dahulu harus meneliti sanad. Ini tidak berarti bahwa sanad lebih penting daripada matan. Bagi ulama’ hadits keduanya sama-sama penting, hanya saja penelitian matan mempunyai arti apabila sanad hadits sudah jelas memenuhi syarat. Di samping itu setiap matan harus memiliki sanad, karena tanpa sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai sabda Nabi.
Menurut ulama’ hadits, suatu hadits barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan matan hadits sama-sama shahih. Dengan demikian, hadits yang sanadnya sahih dan matannya tidak shahih atau sebaliknya, tidak dinyatakan sebagai hadits shahih.
2. Meneliti lafadz matan yang semakna
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). Menurut ulama’ hadits, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi. Misalnya, hadits tentang niat yang berbeda-beda redaksi matannya.
3. Meneliti kandungan matan
Kandungan dalam beberapa matan terkadang sejalan dan juga ada yang bertentangan. Pada matan yang sejalan, maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Jika memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah kandungan matan dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian matan berakhir.
Apabila kandungan matan ternyata bertentangan dengan matan yang kuat, maka penelitian harus dilanjutkan. Ulama’ berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Namun, dilihat dari kemungkinan masalah yang diselesaikan, empat tahap yang diusung Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain tampaknya dipandang lebih akomodatif. Yaitu, (1) at-taufiq (al-jam’u atau al-talfiq); (2) an-nasikh wal-mansukh; (3) at-tarjih; dan (4) at-tauqif (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).
4. Menyimpulkan hasil penelitian matan
Setelah semua langkah telah dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan.
Apabila dalam penelitian matan ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah shahih. Apabila matan dan sanadnya berkualitas dhaif, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif Sedangkan kalau seandainya matan dan sanadnya berbeda kualitasnya, maka perbedaan itu harus dijelaskan.
6. Ilmu-Ilmu bantu penelitian Hadits
Dalam penelitian sebuah hadits tidak hanya didasarkan pada argumen saja, tetapi ada beberapa ilmu yang dapat membantu dalam mencapai kesuksesan hadits. Ilmu yang berkenaan dengan sanad adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang secara mengelupas tentang tokoh/orang yang membawa hadits, semenjak dari Nabi sampai dengan periwayat terakhir (penulis hadits). Pembahasan yang terpenting adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja yang mereka singgahi dalam jangka waktu lama, kepada siapa saja mereka menerima hadits, dan kepada siapa menyampaikannya.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Yaitu ilmu yang membahas keadaan para rawi dari diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Kritik yang dikemukakan oleh ulama’ hadits bukan hanya hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal semacam ini bukan untuk menjelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak hadits yang mereka sampaikan.
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
a. Ilmu Gharibul Hadits
Dalam memahami makna matan hadits, terkadang kita menjumpai susunan kalimat yang sulit dipaham. Hal ini bukan disebabkan tidak teraturnya kalimat dan tidak fasihnya. Akan tetapi lebih merupakan keindahan seni sastra.
Terdorong alasan tersebut di atas, para ulama’ hadits menyusun suatu ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu gharibul hadits.
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
b. Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Yang disebut ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana membahas hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk mengahilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya”.
Usaha untuk mengumpulkan dua hadits yang berlawanan maknanya itu disebut talfiq al-Hadits. Jika dua hadits itu dapat ditalfiqkan maknanya, maka tidak dibenarkan hanya diamalkan salah satu, sedang yang lain ditinggalkan. Cara mentalfiqkan ada kalanya dengan mentakhshishkan hadits yang umum, mentaqyidkan hadits yang mutlaq dan adakalanya memilih sanadnya yang lebih kuat.
c. Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh
Dalam penelitian matan, seorang peneliti akan menemukan hadits-hadits yang bertentangan. Solusi yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan membahasnya melalui ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh. Pengertian dari ilmu ini adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum yang lain, karena ia sebagai mansukh. Karenanya, hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh”.
Jalan untuk mengetahui nasakh adalah, (1) penjelasan dari nash syar’i, (2) penjelasan dari shahabat, (3) dengan mengetahui tarikh keluarnya hadits.
d. Ilmu Asbab al-Wurud
Mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits adalah bagian sangat penting dalam mempelajari hadits. Karena hal ini dapat memahami makna hadits secara sempurna.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
e. Ilmu Ilal al-Hadits
Dalam studi hadits istilah illat dapat diartikan sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat membuat cacat suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat. Demikian menurut Muhadditsun.
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
“Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar-samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti memutthasilkan (menganggap bersambung) sanad atau hadits yang sebenarnya sanad itu munqathi’ (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai pada Nabi) berita yang mauquf (yang berakhir pada shahabat), menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya atau lain sebagainya.”
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
III. Kesimpulan
Kritik hadits (Naqd al-Hadits) atau dengan sebutan penelitian hadits adalah upaya untuk menseleksi kehadiran hadits, memberikan penilaian dan membuktikan keautentikan (keshahihan) sebuah hadits. Upaya ini juga berarti mendudukan hadits sebagai hal yang sangat penting dalam sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, sebagai bukti kehati-hatian kita. Selain yang telah tersebut di atas, upaya ini juga dilakukan untuk memahami hadits agar dapat mengaplikasikan isi dari hadits tesebut dengan tepat. Jadi, kita akan lebih yakin akan kebenaran hadits karena adanya proses penelitian yang ketat dari para sahabat dan para ulama’ hadits dan metode pemahaman yang benar.
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
IV. Penutup
Demikian makalah ini kami sampaikan. Bukan sikap yang bijak apabila kami merasa sempurna tanpa kesalahan sedikit pun dalam makalah yang telah terselesaikan ini. Akhirnya hanya kepada Allah jualah kami berharap mudah–mudahan pemaparan yang jauh dari kata sempurna ini dapat menambah pengetahuan kita dalam memahami penelitian hadits dari segi sanad dan matannya, sehingga dapat mengaplikasikan hadits yang benar-benar shahih untuk amal ibadah kepada Tuhan Sang Pencipta.
Akhirnya tiada gading yang tak retak, untuk itu kritik dan saran yang membangun selalu kami harapkan dari semua pihak. Sekian.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits 'Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al-Fikr, 1989.
Al-Siba’i, Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Majid dari “al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Bustamin, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: PT Karya Unipress, 1995.
, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: PT Karya Unipress, 1992.
, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalah Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995, Cet: VIII.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.